Senin, 12 Januari 2015

Maafkan Ibu, Nak...


3 tahun lalu, saat aku menginjakkan kakiku  kembali di Surabaya



Terang saja aku menantinya
Terang saja aku mendambanya
Terang saja aku merindunya
Karena dia, karena dia begitu indah

Terdengar lirik lagu dari band asal kota Surabaya, Padi yang dinyanyikan oleh dua orang seniman jalanan di atas bis yang aku tumpangi sekarang. Entahlah, mungkin mereka berharap bisa menjadi penyanyi terkenal seperti band kebanggan kota mereka ini.
Surabaya, kota penuh kenangan bagiku. 10 tahun bukan waktu yang sebentar aku tinggal  di Jawa Timur. diantaranya di Surabaya ini. Di kota metropolitan yang dikenal dengan kota pahlawan, tempat bung tomo meneriakkan takbir yang membakar semangat perjuangan melawan penjajah belanda. Ah, aku bukan ingin bercerita tentang sejarah kota ini, aku ingin mengenang kota ini sebagai kota keduaku.
Setelah lama berpisah, aku injakkan kembali kakiku disini. Bukan untuk tinggal, namun untuk urusan bisnis. Aku lihat banyak sekali perubahan di kota ini. Apartemen dan Mall yang dulu masih dalam proses pembangunan, sekarang berdiri tegak menjulang bak arjuna. Jalanan kota Surabaya yang dulu masih dapat dilalui dengan lancar, sekarang mulai tersendat. Taman-taman kota dan ikon Surabaya, patung Suro dan Boyo masih terawat dengan baik. Infrastruktur di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya memang bagus dan terawat sejak dulu, setidaknya sejak aku mulai menetap disini tahun 2000. 
            Setelah urusanku selesai, aku pun bersiap-siap pulang. Sebelum ke Jakarta, aku harus mampir ke Semarang. Hotelku ada di jl. Ahmad yani, lebih dekat ke terminal bungurasih. Aku pilih naik bis saja ke semarang. Setelah check out dari hotel, aku naik bis dalam kota ke terminal. Perjalanan singkat dengan bis ini, mengingatkanku saat-saat kuliah disini dulu.
            Aku memilih duduk di belakang, karena penumpang sedikit. Tak lama setelah dua seniman jalanan yang menyanyikan lagu Padi tadi turun, naik seorang ibu. Namun, ibu itu memilih berdiri disamping pintu, seperti ini





.
            Kemudian, sayup-sayup aku dengar seorang anak bernyanyi dalam bis, di tengah-tengah penumpang yang mulai berangsur turun. Ah, anak sekecil itu seharusnya sedang belajar di sekolah saat ini agar dapat merajut masa depan dengan cahaya. Sekarang, dia mungkin sedang berjuang mencari sesuap nasi untuk adik-adiknya atau keluarganya. Di kota besar, semua serba mahal. Kalau gak kerja, ya gak makan. Kalau mau makan, ya kerja.  
             


            Hal-hal seperti ini, terkadang sulit bagi masyarakat. Bagaimana tidak, seorang anak kecil bernyanyi mengharap belas kasih dan ratusan rupiah. Begitu pula dengan pengemis dan para tuna susila lainnya yang masih terlihat sehat dan segar. Pertama, mereka bernyanyi dan meminta belas kasih di atas kendaraan umum yang pastinya penumpangnya pun bukan orang yang berkelebihan harta. Apabila mereka kaya, tentu mereka tidak menggunakan kendaraan umum bukan? Kedua, keadaan mereka yang masih muda,segar atau yang belum waktunya membuat masyarakat enggan. Masyarakat berpikir mereka masih muda dan sehat, masih bisa bekerja. Mengapa tidak mencari pekerjaan yang lebih layak? Mereka masih kecil,seharusnya mereka sedang belajar di sekolah, bukan di sini. Mengapa anak-anak ini tidak sekolah? Ketiga, bukan rahasia umum lagi kalau sebagian mereka mempunyai pendapatan yang lebih besar daripada mereka yang memberi. Keempat, mereka menjadikan anak-anak sebagai produk penarik iba masyarakat, parahnya lagi anak-anak itu sebagian senang dengan profesi ini. Adapun yang dewasa, sebagian mereka bersikap kasar dan memaksa. Sikap tersebut meresahkan masyarakat tentunya
            Bis yang aku tumpangi sudah tiba di terminal Bungurasih. sisa-sisa penumpang pun berangsur turun termasuk ibu yang berdiri di samping pintu tadi.
            



             Aku tulis ini bukan untuk menghina profesi tersebut atau karena tidak mau saling berbagi. Tak ada niatan pula untuk mencerca dan memandang sebelah mata mereka. Namun, agar masyarakat serta penyelenggara negara sadar masalah mendasar bangsa ini, kemiskinan dan kebodohan. Kemudian bersama menemukan jalan dan mengatasi kemiskinan dan kebodohan ini. Alangkah indahnya jika kita mulai peduli dengan lingkungan sekitar dan generasi penerus bangsa, terlebih jutaan anak-anak dibawah umur.
Bukankah program-program pemerintah, khususnya sejak pemerintahan SBY kemarin banyak yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kecerdasan masyarakat kurang mampu? Memang betul, diantarannya program Dinas Pendidikan, dalam bidang Pendidikan Non Formal, yakni, pendidikan masyarakat, pelatihan keterampilan dan kegiatan belajar masyarakat, program pengentasan buta aksara, dan program lainnya. Begitu pula dengan dinas-dinas pemerintahan yang terkait lainnya. Namun, harus diakui kalau gaungnya belum terdengar sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Disinilah peran pemerintah sekarang untuk meningkatkan penyampaian informasi dan promosi program-program untuk masyarakat langsung tersebut. Lalu, masyarakat melalui RT/RW mendorong mereka untuk ikut serta dalam program-program tersebut.
Selain program pemerintah, banyak pula masyarakat baik individu atau organisasi yang telah tergugah nuraninya untuk menyelamatkan anak-anak bangsa. Diantaranya, panti asuhan, panti sosial, pesantren, dan lembaga pendidikan untuk anak yatim dan kurang mampu. Sungguh, sangat mulia mereka. Salam hormatku bagi mereka para pengurus anak-anak yatim dan kurang mampu. Bantuan dan dukungan moril serta materil sangat mereka perlukan untuk nafas aktifitas sosial ini.
            Akhirnya, tak ada kata yang pantas kita ucapkan setelah usaha selain doa. “Ya Allah, Ya Tuhan kami, lindungi kami, lindungi negeri ini. Berilah kemudahan, jauhkan kemungkaran. Berilah secercah cahaya untuk masa depan kami dan anak-anak kami. Ya Allah, hanya pada-Mu lah kami memohon. Ya Allah kabulkanlah doa kami. Amin”
             

Sabtu, 08 November 2014

Lir ilir... Lir ilir...



Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir,
       Tak ijo royo-royo tak sengguh penganten anyar,
       Bocah angon…bocah angon penekno blimbing kuwi,
       Lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodotiro,
       Dodotiro…dodotiro.. kumitir bedhah ing pinggir,
       Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore,
       Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
       Yo surako surak horee.
Artinya:
       Sayup-sayup bangun dari tidur, tanaman-tanaman sudah mulai bersemi,
       Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru,
       Anak-anak penggembala, panjatkan pohon blimbing itu,
       Walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian,
       Pakaian-pakaian yang koyak pinggirnya,
       Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore,
       Selagi sedang terang rembulannya, selagi sedang banyak waktu luang,
       Mari bersorak-sorak horee.

       Adapun maksud dari lirik lagu tersebut kurang lebih seperti dijelaskan di bawah ini.
       Makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig. Hijau adalah warna dan lambang agama Islam. Agama Islam begitu menarik dan kemunculannya yang baru diibaratkan bagaikan pengantin baru. Cah angon atau penggembala, diibaratkan dengan penguasa yang menggembalakan rakyat. Para penguasa itu disarankan untuk segera masuk agama Islam (disimbolkan dengan buah belimbing yang mempunyai bentuk segi lima sebagai lambang rukun Islam). Walaupun licin, susah, tetapi usahakanlah agar dapat masuk Islam demi menyucikan dodot (dodot adalah jenis pakaian tradisional Jawa yang sering dipakai pembesar zaman dahulu). Bagi orang Jawa, agama adalah ibarat pakaian, maka dodot dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan. Pakaianmu, (yaitu) agamamu sudah rusak, karena dicampur dengan kepercayaan animisme/klenik. Maka agama yang sudah rusak itu jahitlah (perbaiki), sebagai bekal menghadap Tuhan. Selagi masih ada kesempatan maka bertobatlah. Bergembiralah, semoga kalian mendapat anugerah dari Tuhan.

Minggu, 07 September 2014

Syair Cinta untukmu Duhai Kekasih (1)



Tahukah kamu saat pertama kali kita berjumpa, aku ingin berkata
أَوَّلُ الْمَطَرِ الْقَطْرُ وَ أَوَّلُ الْحُبِّ النَّظَرُ
Permulaan datangnya hujan tetesan, sedangkan permulaan datangnya cinta adalah pandangan.

Walaupun jarak memisahkan kita, ingatlah 
إِنَّ التَّبَاعُدَ لَا يَضُرُّنَا                    إِذَا تَقَارَبَتِ الْقُلُوْبَ
Sesungguhnya berjauhan itu tidak akan membahayakan hubungan cinta kita, apabila hati kita selalu berdekatan.

Kalau kau merindukanku, bacalah
إِقْرَأْ رِسَالَتِيْ كَأَنَّكَ تَرَانِي               فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَانِي أَرَاكَ
       Bacalah suratku seakan-seakan kau melihatku, apabila kau tidak merasa melihatku maka aku melihatmu.

          Jangan pedulikan orang-orang, bukankah
بَيْنَ الْمُحِبَّيْنِ سِرٌّ لَيْسَ يُفْشِيْهِ            قَوْلٌ وَلَا قَلَمٌ لِلْخَلْقِ يُحْكِيْهِ
       Diantara dua orang yang saling mencintai terdapat rahasia yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan tidak dapat ditulis menjadi cerita untuk orang lain.
      
       Sungguh, kita sangat beruntung karena
اَلْإِنْسَانُ بِلَا مَحَبَّةٍ كَاللَّيْلِ بِلَا نَجْمِ       وَ الْمَحَبَّةُ بِلَا قَيْدٍ كَالْقَهْوَةِ بِلَا سُكَّرٍ
       Seseorang yang hidup tanpa cinta seperti malam tanpa bintang, dan cinta tanpa ikatan seperti kopi tanpa gula.


Sabtu, 06 September 2014

Syair Imam Syafi'i (1)


 Beberapa minggu yang lalu, aku menemukan sebuah buku diantara tumpukan koleksi bukuku yang lama tersimpan dalam kotak-kotak bisu berwarna coklat. Entah sudah berapa lama aku tak melirik mereka, hampir 7  tahun lebih. Aku rapikan dan aku rawat buku-buku itu, sungguh, aku tak percaya kalau aku punya buku sebanyak ini. Mungkin aku salah satu dari jutaan orang yang menyumbang global warming, tapi aku pun turut menyumbang eksistensi  penerbitan dan percetakan yang dihantam badai era digital bukan.
Buku itu adalah Diwan Al-Imam Syafi’i (syair-syair imam Syafi’i). Imam Syafi’i adalah ulama besar peletak madzhab Syafi’i, beliau bernama lengkap Abū ʿAbdillāh Muhammad bin Idrīs bin Wahab bin Utsman bin Syafiʿī atau lebih dikenal Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, silsilah keturunan beliau bertemu dengan Rasulullah saw pada Abdi Manaf. Beliau dilahirkan pada hari Jumat akhir bulan Rajab tahun 150 H / 767 M di kota Gaza, Palestina. Sejarah hidup beliau sejak masa kanak-kanak ketika beliau sedang belajar hingga menjadi mufti dan ulama besar yang menguasai berbagai ilmu bisa kita temukan di berbagai sumber, tentunya sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Imam syafi’i tak pernah lepas memikirkan persoalan-persoalan umat manusia, diantara pemikiran beliau tentang sisi kehidupan manusia terkumpul dalam bentuk syair-syair berikut ini.


وَ قَالَ مُشِيْرًا إِلَى الْحَظِّ
                                       Perkataan Imam tentang nasib hidup

تَمُوْتُ الْأُسْدُ فِى الْغَابَاتِ جُوْعًا         وَ لَحْمُ الضَّأْنِ تَأْكُلُهُ الْكِلَابُ
وَ عَبْدٌ قَدْ يَنَامُ عَلَى سَرِيْرٍ               وَ ذُوْ نَسَبٍ مَفَارِشُهُ التُّرَابُ


           Seekor singa mati kelaparan di hutan, padahal daging kambing berceceran dimakan serigala.
Seorang hamba sahaya tidur diatas ranjang, sedangkan sang bangsawan tidur beralas pasir.


فَوَائِدُ السَّفَرِ                            
                                                                                                          Manfaat Berkelana                                                                          
تَغَرَّبْ عَنِ الْأَوْطَانِ فِى طَلَبِ الْعُلَى    وَ سَافِرْ فَفِى الْأَسْفَارِ خَمْسُ فَوَئِدِ
تَفَرُّجُ هَمٍّ وَ اكْتِسَابٍ مَعِيْشَةٍ             وَ عِلْمٍ وَ أَدَابٍ وَ صُحْبَةِ مَاجِدِ
وَ إِنْ قِيْلَ فِى الْأَسْفَارِ ذُلٌّ وَ مِحْنَةٌ      وَ قَطْعُ الْمَالِ وَ اكْتِسَابُ الشَّدَائِدِ
                            فَمَوْتُ الْفَتَى خَيْرٌ لَهُ مِنْ حَيَاتِهِ
  
       Pergi dari tanah kelahiranmu ke negeri asing untuk mencari kebaikan, mengembaralah karena dalam pengembaraan kamu akan dapatkan lima manfaat.
Menghilangkan kesedihan, meningkatkan perekonomian, meningkatkan pengetahuan dan wawasan peradaban, serta menambah pergaulan.
            Apabila dikatakan bahwa berkelana itu suatu perbuatan hina,sia-sia, menghabiskan uang, dan hanya mendapat kesusahan.
            Maka sesungguhnya kematian seorang pemuda(di perantauan) lebih baik dari pada hidup(di tanah kelahiranya dengan penuh dengki dan iri hati)nya.